I N D O P R E S S : Dalam Dekapan Kapitalisme Digital
Rabu, 21 Desember 2018
INDOPRESS.ID — SURVEI Institut Studi Transportasi atau Instran menunjukkan penurunan pendapatan pekerja angkutan online, baik pengemudi taksi maupun pengendara ojek. Sejak mereka memulai profesi tersebut pada sekitar empat tahun lalu, pendapatan mereka turun rata-rata 30-40 persen untuk pengemudi taksi dan 60 hingga 70 persen untuk pengendara ojek.
Seorang pengemudi ojek online, Rusli, mengatakan dia kini hanya bisa memperoleh maksimal Rp 200 ribu per hari dari sebelumnya 800 ribu per hari. "Awalnya enak jadi ojol tapi semakin ke sini semakin seret," katanya yang juga menjadi responden survei Instran dan hadir dalam acara presentasi survei pada Rabu, 19 Desember 2018, di Jakarta.
Survei menunjukkan penghasilan sebagian besar pengemudi ojek online rata-rata antara Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu per hari. Di luar itu, mayoritas mendapatkan bonus dari aplikator dengan nilai kurang dari Rp 40 ribu per hari.
Pendapatan tersebut belum dikurangi dengan beban biaya operasional, seperti bensin (antara Rp 10 ribu hingga Rp 25 ribu per hari), ongkos paket internet (Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu per bulan), biaya perawatan kendaraan (Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per bulan), dan biaya makan (Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu per hari). "Kalau dikurang-kurang, hampir sama dengan upah minimum Jakarta (Rp 3,3 juta)," kata Direktur Instran, Darmaningtyas.
Ironinya, penghasilan sebesar itu diperoleh setelah mayoritas mereka (57,7 persen) bekerja 12 jam per hari atau lebih. Ini melampaui jam kerja pekerja formal penuh waktu yang mencapai delapan jam per hari. "Ini perbudakan modern, eksploitasi besar-besaran," kata Rusli.
Survei juga mengungkap bahwa apa yang diklaim sebagai ekonomi berbagi (sharing economy) itu ternyata menjadi pekerjaan utama mayoritas responden. Sebanyak 77 persen pengemudi taksi online dan 71,7 persen pengendara ojek online menjadikan pekerjaan tersebut sebagai mata pencaharian utama mereka. Hanya 23 persen (taksi online) dan 28,3 persen (ojek online) yang menyatakan pekerjaan itu hanya sampingan. "Jadi, klaim tentang ekonomi berbagi itu hanya benar 23 persen untuk taksi online dan 28,3 persen untuk ojek online," kata Darmaningtyas.
Instran melakukan survei selama tiga bulan sejak September hingga November. Dilakukan di Jabodetabek, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali, survei berhasil menjaring 300 responden pengemudi taksi online dan 300 pengendara ojek.
Instran mengakui jumlah responden belum bisa dikatakan merepresentasikan pendapat seluruh pengemudi taksi dan pengendara ojek online. Karena keterbatasan waktu, survei juga baru bisa menjangkau 600 responden. "Ini masih hasil sementara," ujar Darmaningtyas.
Dari hasil survei, mayoritas pengemudi, atau lebih daripada 30 persen, menyatakan penurunan pendapatan akibat aplikator yang terus menerima pendaftaran. Sebagian lainnya, atau sekitar 20 persen responden, menilai tarif per kilometer yang rendah menjadi faktor utamanya. Kemudian, sekitar 17 persen menganggap kebijakan aplikator menurunkan bonus dan menaikkan target sebagai penyebabnya.
Survei juga menunjukkan, sebagian besar pekerja angkutan online menganggap profesi mereka saat ini tak menjanjikan. Sebanyak 31 persen pengemudi taksi dan 34,7 persen pengendara ojek menyatakan pekerjaan mereka saat ini hanya sementara, 43,7 persen (taksi online) dan 41 persen (ojek online) ragu-ragu, dan hanya 24,7 persen (taksi online) dan 24 persen (ojek online) yang yakin bahwa mereka akan terus menekuni profesi ini.
"Saya akan jalan terus, dengan catatan ada perubahan signifikan," ujar Rusli yang menuntut Pemerintah mengeluarkan peraturan terkait ojek online. "Kalau memang (ojek online) melanggar aturan, ya bubarkan (perusahaan aplikator) dong, jangan enggak ada aturan tapi kami dibiarkan jalan."
Kenyataan yang dihadapi pekerja angkutan online berbanding terbalik dengan perusahaan aplikator. Valuasi raksasa aplikator, seperti Grab dan Go-Jek, dilaporkan terus meroket hingga mencapai ratusan triliun rupiah pada tahun ini. Pemodal besar seperti Google pun tak sungkan menyuntikan dana kepada aplikator tersebut. Perusahaan pun kian merajalela, merambah banyak bidang bisnis lain.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fathimah Fildzah Izzati, memandang ekonomi digital atau yang juga diklaim sebagai ekonomi berbagi menimbulkan banyak kerentanan bagi pekerjanya, seperti jam kerja yang eksesif dan kaburnya identitas pekerjaan. Kekaburan identitas kemudian akan menghilangkan sejumlah hak pekerja, seperti asuransi, dan melemahkan solidaritas dan pengorganisasian di kalangan pekerjanya.
"Para pemilik platform online ini menggunakan istilah 'mitra kerja' untuk menggambarkan seolah-olah para pekerja di dalamnya memiliki posisi yang sama dengan mereka," kata Fathimah. "Padahal, kenyataannya tidaklah demikian. Para pekerja di dalamnya ialah kelas pekerja, yang dieksploitasi dan diambil nilai lebihnya serta memiliki kepentingan yang bertentangan dengan para penyedia atau pemilik platform online atau kelas kapitalis tersebut."
Bagi Fathimah, klaim ekonomi berbagi tidak lain merupakan bentuk dari strategi kelas kapitalis untuk menyembunyikan eksploitasi yang terjadi atas pekerja dan lebih jauh untuk menutupi status kelas pekerja dari para pekerja yang dieksploitasi di dalamnya. "Istilah tersebut (ekonomi berbagi–red) untuk memberi ilusi kepada para pekerja mengenai hubungan kerja yang terjadi."
Sementara itu, Rudyanto Linggar, pendiri Nebeng.com, mengatakan pihaknya tak mau lagi disebut sebagai ekonomi berbagi karena istilah itu sudah diklaim perusahaan aplikator. Apalagi, menurut Rudyanto, konsep Nebeng.com dengan taksi online amatlah berbeda.
Nebeng.com yang diperkenalkan pada September 2005 dalam bentuk mailing list bertujuan menghubungkan antara warga yang memiliki kendaraan dengan yang tidak. Tujuan mereka pun bukan komersial, tapi lebih untuk menghemat bahan bakar, mengurangi kemacetan di jalan, dan meminimalisasi polusi.
"Kalau sekedar sharing, kan orang-orang pakai mobil sama-sama dan biaya ditanggung bersama," katanya ketika dihubungi terpisah. "Tapi, taksi online kan ada penyedia jasa dan konsumen."
Rudyanto pun kini lebih suka menyebut Nebeng.com sebagai gotong royong ketimbang ekonomi berbagi, istilah yang terlanjur lekat dengan taksi online. "Konsep kami adalah bagaimana kita bersama-sama menghemat bensin dan mengurangi kemacetan, bukan mencari income," jelasnya.[](Lutfi Awaluddin)
Sumber : I N D O P R E S S